13 April 2008

Bagir Marah pada Ketua BPK


 

Sabtu, 12 April 2008

JAKARTA (RP)– Perseteruan antara Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) dan Mahkamah Agung (MA) kembali memanas. Ketua MA Bagir Manan langsung merespon keras dan terkesan marah dengan rencana Ketua BPK Anwar Nasution untuk melaporkannya ke kepolisian.

 
 

''Anwar jangan memaksakan maunya sendiri. Dia salah kira kalau memaksakan semua orang di negeri ini. Negeri ini berdasarkan hukum dan kesepakatan,'' ujar Bagir saat ditemui di Gedung MA kemarin (11/4).

Menurut dia, jalan tengah yang disepakati, yakni pembentukan Peraturan Pemerintah (PP) soal biaya perkara adalah yang terbaik. ''Karena kesepakatannya adalah PP, maka kita tunggu PP,'' ujarnya. Perseteruan BPK dan MA soal biaya perkara bukan barang baru. Pada 2006, Anwar menuding biaya perkara sebagai pungli karena tidak boleh diaudit BPK.

Sempat mereda, konflik itu mencuat lagi pada 2007. Anwar bahkan melaporkan Bagir Manan ke Mabes Polri pada 13 November 2007. Istana pun lantas turun tangan. Pada 22 September 2007, penyelesaian secara ''adat" pun digelar. Kesepakatan untuk membuat PP biaya perkara dihasilkan. Jangka waktu sebulan menerbitkan PP pun dipatok. Namun, sampai sekarang aturan tersebut belum selesai.

''Kalau Anwar Nasution yang jagoan itu merasa ingin (aturan itu diberlakukan) sekarang, maka harus didesak PP-nya. Jangan mendesak Ketua MA, jangan berlebihan dia,'' tambah Bagir. Pria asal Lampung itu mengaku tak keberatan diaudit asal berdasarkan PP. Menurutnya, setiap sen yang digunakan dibukukan.

Bagaimana nasib PP biaya perkara? Direktur Harmonisasi Perundang-undangan DepkumHAM Wicipto mengakui pembahasan Rancangan PP mandek. RPP, tambahnya, sudah diserahkan ke Sekretariat Negara. ''Draf sudah disetujui oleh MA, Depkeu,dan Setneg. Tapi, kemudian BPK kirimkan surat keberatan,'' ujarnya saat dihubungi kemarin (11/4).

Akibatnya, Setneg mengembalikan RPP ke Depkeu. ''Setelah itu tidak ada lagi pembicaraan,'' tambahnya. Alasan BPK mengeluarkan keberatan karena berpendapat seluruh biaya perkara masuk dalam Pendapatan Negara Bukan Pajak (PNBP), sehingga harus diaudit penggunaannya secara keseluruhan.

Pendapat BPK, lanjut Wicipto, berbeda dengan analisis DepkumHAM yang menghasilkan kesimpulan  biaya perkara bisa dikatakan uang negara jika ada sisa dari pemakaian operasional perkara. ''Uang perkara itu kan uang para pihak, khususnya perkara perdata yang
dititipkan di pengadilan untuk operasional. Jadi bukan uang negara," jelasnya.

Biaya perkara, dikatakan sebagai uang negara jika sudah ada putusan yang berkekuatan hukum tetap (in kracht). Bagaimana jika BPK tetap tak terima? ''Kalau ada pertentangan seperti ini, itu sudah diluar wewang kita,'' ujarnya menjelaskan.


 

=== Komentar :

Uang yang bukan uang Negara tetapi dititipkan ke Lembaga Negara dan dipergunakan untuk operasional Lembaga Negara tersebut.

Memang yang paling benar adalah Rhoma Irama, " Karena rupiah terjadi pertumpahan darah". Apalagi hal itu terjadi di bangsa pemarah ini. Presiden, Gubernur, Pejabat-pejabat Negara sekarang ini tampaknya lagi menebarkan amarah ke seluruh penjuru nusantara.

No comments: