26 December 2006

Menyibak Kinerja Pemain E-Commerce Lokal

Di tengah gagalnya banyak situs e-commerce, beberapa pemain e-commerce lokal mampu bertahan, bahkan ada yang tetap profitable. Seperti apa model bisnis dan strategi bertahan mereka?

Dua bulan lalu Erman Harianja sempat bertanya-tanya soal keberadaan situs online travel lokal, Travoo.com. Ia hendak menyiapkan acara liburan panjang saat Lebaran lalu. Tiga tahun sebelumnya ia sempat memakai jasa perusahaan online itu untuk mengurus perjalanan wisatanya. Kini ketika mencoba browsing ke situs itu, hanya muncul tulisan “This site is under construction”. "Kayaknya sudah tutup," begitu Erman menduga.

Dugaan Erman tak salah. Travoo.com, salah satu situs penyedia jasa online travel yang sempat sangat poluler di awal kelahirannya beberapa tahun lalu, hanyalah satu dari ratusan atau mungkin ribuan situs e-commerce lokal yang akhirnya harus menutup cerita. Sebagian besar mereka memang berusaha realistis, tak mungkin hidup berdasarkan harapan bahwa ke depan bisnis online akan ngetren dan menjadi salah satu media transaksi penting. Buktinya, setelah menunggu beberapa tahun, revenue yang dihasilkan situs-situs e-commerce itu tak kunjung menutup ongkos operasional, misalnya untuk kebutuhan koneksi, hosting serta gaji pegawai. Dengan alasan tak ingin lama berdarah-darah, para pemilik situs e-commerce lokal memilih cabut dari bisnis online ini. Atau, tak sedikit juga pengelolanya kembali ke jalur profesional di perusahaan brick & mortar (non-online). Itulah kenyataan yang terjadi pada kebanyakan situs e-commerce lokal (situs-situs lokal yang masih aktif dan non-aktif bisa dilihat di Tabel).

Namun, tak semua situs e-commerce lokal telah tamat riwayatnya. Ada beberapa pemain yang masih bertahan dan mampu menggaet pendapatan yang bisa menghidupi. Boleh dibilang, mereka yang saat ini masih bertahan adalah yang sukses dalam proses seleksi alami. Hanya saja, perjalanan yang mereka lewati juga tak bisa dikatakan tanpa pertaruhan yang menegangkan. Dari pengamatan SWA, beberapa di antara mereka bahkan bisa bertahan karena mengadaptasi strategi baru sesuai dengan realitas yang mereka hadapi.

Sebut saja, Glodokshop.com, Bhinneka.com, Indo.com dan e-Samuel.com. Bila diamati, situs e-commerce -- bentuk dan jenis barang yang diperdagangkan bisa bermacam-macam -- lokal yang bisa bertahan hanyalah yang benar-benar ditopang model bisnis yang jelas dengan potensi pasar yang benar-benar riil.

Indo.com contohnya. Sejak awal situs ini didesain sebagai portal untuk reservasi perjalanan secara online, khususnya reservasi hotel. Berbeda dari portal sejenis lainnya, Indo.com tak membidik wisatawan lokal yang hendak ke luar negeri atau booking hotel di luar negeri, tapi fokus membidik wisatawan yang hendak datang ke Indonesia (inbound tourism) atau booking hotel di Indonesia, khususnya di Bali. "Dari dulu fokus kami wisatawan inbound," ujar Eka Ginting, pendiri dan CEO Indo.com.

Dengan model bisnis seperti ini, wajar jika Indo.com tak terlalu dipusingkan dengan lambatnya tingkat penetrasi Internet di Indonesia yang menjadi penyebab klasik kegagalan perusahaan e-commerce lokal. Maklum, yang lebih disasar Indo.com adalah pengguna Internet di luar negeri yang umumnya sudah tak asing dengan Internet. Lebih-lebih, tambah Eka, pengelola hotel di Bali dan kota-kota besar di Indonesia rata-rata tak sulit diajak bekerja sama membangun sistem reservasi hotel secara online bersama melalui Web Indo.com. Terbukti, hingga saat ini 400-an pengelola hotel di Indonesia -- khususnya hotel di Bali, Lombok dan Yogyakarta -- mempercayakan pengelolaan reservasi online-nya pada Indo.com. Pendapatan Indo.com diperoleh dari fee yang diberikan pengelola hotel jika proses reservasinya melalui situs ini.

Eka menjelaskan, saat ini kinerja bisnis e-commerce-nya masih cukup bagus. Dari sisi jumlah pengakses, misalnya, tiap bulan rata-rata situs Indo.com diakses 500 ribu orang, sementara situs Paketrupiah.com – lebih dikhususkan untuk wisatawan lokal -- yang juga miliknya diakses 50 ribu orang. Namun, ia mengakui, setelah terjadi tragedi Bom Bali I 2002, bisnis Indo.com benar-benar anjlok. "Kami drop 90% alias tinggal 10% karena wisatawan asing takut ke Indonesia," kata Eka yang pernah berkarier sebagai konsultan di McKinsey. Tahun 2003 proses pulihnya agak lambat karena masih didera isu SARS dan Perang Irak. Nah, bisnis Indo.com mulai mendapatkan momentum untuk melejit lagi tahun 2004. "Tahun 2004 kami happy sekali dan semua unit bisnis profitable," ujarnya mengklaim.

Tak mengherankan, tahun 2005 tim Eka berharap kinerjanya meningkat lagi. Selain itu, juga ada harapan bahwa wisatawan asing yang lama tak mengunjungi Bali akan kembali datang tahun ini. Bahkan, umumnya kalangan pengelola wisata di Bali pun yakin bahwa kunjungan wisatawan asing ke Bali akan naik sekitar 300% dibandingkan dengan tahun 2004. Harapan itu sebenarnya bukanlah mimpi kosong. Terbukti tahun 2005 Indo.com masih tumbuh lebih baik daripada 2004. "Tapi, pertumbuhannya memang tak semencengangkan yang diharapkan banyak orang. Tak sampai ratusan persen," kata Eka.

Malang tak bisa ditolak. Tragedi Bom Bali II yang baru saja terjadi mengurangi jumlah wisatawan yang booking secara online melalui Indo.com. "Jelas berpengaruh walaupun tak separah Bom Bali I," ujar Eka. Ia memaparkan, sebelum Bom Bali II, sejumlah hotel besar di Bali yang menjadi mitra Indo.com punya tingkat hunian 90% lebih. Namun setelah kejadian, hanya di bawah 60%. Nasih lebih mujur dialami hotel-hotel melati yang tingkat huniannya tetap bagus. Dari sejumlah wisatawan yang menggunakan jasa Indo.com, sesaat setelah kejadian Bom Bali II ada 10% yang mempersingkat kunjungan, yang sudah booking tapi kemudian membatalkan sekitar 20%, dan jumlah forward booking turun 24%.

Walau demikian, Eka sangat yakin, ke depan bisnis e-commerce-nya mampu bertahan. Alasannya, kinerja dari tahun 2003 ke 2004 bisa naik dua kali lipat. "Kami yakin sekali, bila tak ada kejadian yang aneh-aneh seperti bom, bisnis ini sudah tumbuh sustainable dan profitable. Kami sudah bisa hidup dari sini," ujar Eka sembari mengatakan, bisnis portal e-commerce-nya merupakan bisnis yang sudah jadi, apalagi merek Indo.com diklaimnya cukup kuat. Karena itu, Eka yang kini memperkerjakan 40 orang berharap agar tak terjadi lagi musibah seperti bom yang bisa mengacaukan minat wisatawan asing datang ke Tanah Air, khususnya Bali.

Hanya saja, diakui Eka, Indo.com pun pernah mengalami masa sulit hingga perlu melakukan efisiensi dengan rasionalisasi karyawan dan pemindahan kantor ke lokasi yang tarif sewanya lebih murah. Langkah ini dilakukan khususnya setelah Bom Bali I, yang memang memukul telak para pemain industri wisata.

Sementara Indo.com termasuk situs e-commerce yang mampu tetap hidup di bisnis travel online, di bisnis online stock trading, pemain yang cukup eksis ialah e-Samuel.com. Situs ini go online sejak 2002 dengan positioning menjadi mediasi untuk transaksi penjualan saham melalui Internet (online). e-Samuel, tak lain, merupakan anak usaha Samuel Sekuritas yang merupakan salah satu perusahaan broker saham yang punya nama di Indonesia. Seperti broker saham umumnya, dilihat dari model bisnisnya, penghasilan e-Samuel.com juga didapat dari fee yang ditarik dari investor yang melakukan transaksi saham (baik jual maupun beli) melalui situsnya ini.

Hingga kini bisnis penjualan saham melalui media online di e-Samuel.com tetap bertahan. Mereka bisa bertahan karena melakukan sejumlah perubahan strategi juga. "Dulu kami besar, dilihat dari kuantitas pemakai transaksi online. Sekarang fokus kami bukan semata-mata banyaknya pemakai, namun besarnya nilai transaksi per masing-masing member kami," Ikhwan Martias, pengelola yang juga Direktur e-Samuel.com, menjelaskan. Jadi, pihaknya tak semata-mata fokus pada besarnya customer base.

Tak mengherankan, awalnya, persyaratan menjadi anggota begitu dipermudah dan sejumlah layanan di e-Samuel digratiskan. Kini cara itu tak ditempuh lagi. Strategi itu, dinilai Ikhwan, tak menguntungkan. Maklum, setelah dicermati, untuk melayani customer base yang besar butuh sumber daya yang juga besar untuk mem-back up layanan online itu. Sementara dilihat besarnya revenue yang dihasilkan masing-masing pelanggan online, tak semuanya memadai. "Kalau kami ikuti arus pasar waktu itu, bisnis online kami menjadi terlalu berciri ritel. Di situ back office kami belum cukup siap," katanya.

Dengan alasan itu, tak mengagetkan, beberapa layanan kemudian digabung dan disederhanakan. "Awalnya, kami punya sekitar 10 layanan online. Sekarang tinggal tiga layanan," tutur Ikhwan sembari merinci ketiga layanan itu: online trading, online info dan online stock tournament. Kini, setelah tiga tahun berjalan, media transaksi saham milik e-Samuel terus dimanfaatkan investor. "Dalam sehari rata-rata ada 500-1.000 order transaksi saham melalui e-Samuel.com," ujarnya. Ia menambahkan, tahun lalu perusahaannya menerima penghargaan sebagai perusahaan bursa yang mempunyai sistem teknologi terbaik.

Soal besarnya nilai transaksi harian yang melalui e-Samuel.com, Ikhwan mengaku tak bisa memastikan. "Keaktifannya sangat tergantung (pada) sentimen bursa secara umum," ujarnya. Namun, kalau dirata-rata, tiap bulan nilai transaksi saham melalui e-Samuel.com sekitar Rp 30 miliar. Memang, jumlah yang tak kecil. "Dulu basis pelanggan kami banyak, tapi nilai transaksinya tak sebesar itu. Setelah kami fokus di volume, revenue bulanan jadi lebih besar."

Selama ini, menurut Ikhwan, ada dua jenis pelanggan e-Samuel. Pertama, mereka yang menjadi anggota Samuel Sekuritas karena memang otomatis diberi account untuk bertransaksi secara online. Kedua, non-anggota yang tertarik memanfaatkan layanan e-Samuel.com. Anggota jenis kedua ini ditarik uang pendaftaran dengan nilai tertentu, sedangkan anggota jenis pertama dibebaskan dari biaya registrasi.

Bila dipetakan, selama ini pengguna situs e-Samuel.com ialah kalangan investor usia 30-50 tahun. "Investor yang usianya sudah tua umumnya tak terlalu mengerti Internet, sementara yang berusia di bawah 30 tahun memang mahir Internet namun tak punya duit banyak untuk main saham," paparnya. Dilihat latar belakangnya, pelanggan layanan online ini kebanyakan nasabah individual dari sektor keuangan (finansial), telekomunikasi dan TI. Sementara itu, pelanggan korporat kebanyakan perusahaan luar negeri atau lembaga dana pensiun dalam negeri.

Ikhwan optimistis, bisnis penjualan saham online ini berprospek cerah. Alasannya, situasi bursa saham Jakarta membaik dalam beberapa tahun terakhir. "Bursa kita terbaik di regional tahun lalu. Ke depan, saya tetap optimistis, bursa saham kita masih termasuk salah satu terbaik di regional," ujarnya. Untuk itu, pihaknya mengembangkan berbagai upaya pemasaran. Khususnya, mencari mitra distribusi atau jalur baru untuk memperluas pasar secara elektronik. Misalnya, bekerja sama dengan kalangan perbankan, dengan memberikan alternatif investasi buat penggunaan layanan private banking dan consumer banking.

Yang menarik, bila dicermati, kebanyakan pemain e-commerce lokal yang bertahan hingga kini datang dari kalangan penyedia produk jasa. Sementara untuk layanan perdagangan barang, relatif lebih sedikit. Hal ini juga diakui Hendrik Tio, CEO dan pemilik situs e-commerce jual-beli barang-barang elektronik, Bhinneka.com. Hendrik menjelaskan, sebenarnya kunjungan ke situsnya bisa dikatakan sangat baik. Tiap hari tak kurang dari 20 ribu pengunjung mengakses situs ini. Namun jangan kaget, walau dikunjungi sebanyak itu, yang murni transaksi online hanya sekitar 2%. Rupanya, kebanyakan orang Indonesia lebih suka bertransaksi secara offline. "Mereka lebih yakin dengan mendengar suara orang, atau agar bisa menawar maupun untuk menyakinkan bahwa ada yang mengelola situs itu," ujar Hendrik.

Di situs Bhinneka.com dijual hampir semua produk yang terkait dengan komputer, mulai dari PC, notebook, server hingga periferal dan perangkat jaringan. "Kami juga menawarkan solusi seperti jasa sewa dan instalasi," Hendrik menambahkan. Soal siapa pelanggannya, ia melihat, tiap produk memiliki konsumen masing-masing. Namun, ia mengamati, pada waktu-waktu tertentu -- misalnya menjelang Lebaran -- produk gadget seperti digital camera, PDA, notebook dan ponsel sangat populer dan laku. Hendrik mengklaim, bisnis Bhinneka.com yang mulai go online sejak 1999 terus tumbuh dengan baik. "Kami masih dapat tumbuh 45% setiap tahun dibandingkan dengan industri komputer yang rata-rata tumbuh 20%-25%."

Kendati begitu, Hendrik mengaku merasa sedikit iri terhadap apa yang terjadi di luar negeri, khususnya di negara maju. Proses transaksi di sana hampir 100% dilayani sistem berbasis komputer. Di sana semuanya sudah percaya pada media online, sehingga tak perlu lagi menelepon atau menulis e-mail. Di Indonesia, keinginan menelepon ataupun mengirim e-mail menanyakan kejelasan produk masih sangat besar. "Akibatnya, situs lebih merupakan informasi pre-sales. Banyak pengunjung kami yang sekadar melihat dan membandingkan informasi harga," kata Hendrik membuka dapurnya. Anehnya, dari kebiasaan seperti itu akhirnya terbentuk komunitas. Sehingga, kalau Bhinneka.com tidak meng-update atau salah dalam informasi produk atau harga, tim Hendrik sering dimarahi pengakses situs. Jadi, secara tak langsung Bhinneka.com sudah menjadi situs publik.

Hendrik mengaku rata-rata menghabiskan sekitar Rp 1 miliar/tahun untuk investasi peralatan, SDM dan menyewa bandwidth. "Tapi, kami cukup senang karena selain mampu menyumbang transparansi informasi dan harga, kami juga mendapatkan cipratan bisnisnya," katanya berterus terang. Sayang, ia tak mau mengungkapkan detail pendapatannya dari bisnis online ini. Ia hanya menjelaskan, pengakses situsnya 75% adalah laki-laki, dan separuh lebih (55%) tinggal di Jakarta. Pengakses terbesar berikutnya dari Surabaya dan Bali.

Hanya saja harus diakui, bertahannya Bhinneka.com juga tak lepas dari topangan bisnis offline mereka. Maklum, Hendrik pada 1993 mendirikan bisnis penjualan produk-produk komputer tersebut secara offline -- membuka toko di Gunung Sahari, Jakarta, bahkan masih tetap menjadi andalan. Dari tahun ke tahun jenis barang dagangannya pun terus bertambah.

Tanpa dukungan bisnis konvensionalnya, untuk bisa sukses berbisnis online di Indonesia memang amat sulit. Agaknya, kita bisa belajar dari kasus toko buku online Sanur.com yang awalnya sempat sangat agresif, kemudian tutup sementara, dibuka lagi dengan semangat baru, tapi kini gaungnya tak terdengar lagi. Mungkin akan lain ceritanya bila sejak awal Sanur.com di-back up perusahaan penerbitan yang sudah kuat.

Umumnya, pemain e-commerce yang sukses adalah yang menyasar pengguna Internet dari luar negeri, seperti Indo.com. Beberapa pengusaha kerajinan dari Bali -- salah satunya mantan Bupati Gianyar, Made Kembar Karepun -- juga lumayan sukses jualan online dengan omset puluhan juta rupiah per bulan karena menyasar pembeli dari mancanegara.

Toh, ada juga situs e-commerce yang masih bertahan hidup karena disuapi induk perusahaannya yang bergerak secara offline. Hal terakhir ini terjadi karena beberapa situs e-commerce sering difungsikan lebih sebagai alat pemasaran, sehingga walaupun merugi tetap dipertahankan. Situs seperti ini tak secara langsung ditargetkan untuk menghasilkan pendapatan, tetapi untuk menopang citra merek bisnis offline-nya. Contohnya, situs TokoLG.com. Meski jumlah transaksinya tak besar, situs ini tetap dipertahankan karena menjadi alternatif saluran pemasaran produk LG di Indonesia.

Apakah berarti masa depan bisnis e-commerce lokal tak terlalu cerah? Hendrik mengaku optimistis. Keyakinan ini ia dasarkan pada makin bertambahnya komunitas pengguna Internet dalam negeri. "Anak-anak muda bahkan anak-anak SD sekarang mulai mengerjakan PR menggunakan Internet," katanya. Apalagi, dengan semakin aktifnya Telkom terjun mengembangkan jaringan broadband hingga ke daerah-daerah. Hal ini membuka kesempatan buat masyarakat luas mengakses Internet secara lebih cepat dengan harga terjangkau harganya. "Kami percaya, suatu saat sama seperti handphone, yang awalnya berupa telepon mobil bisa meledak pangsa pasarnya karena semakin murah dan mudah dalam penggunaan," ujar Hendrik. Strategi yang dipilih untuk bisnisnya adalah mengembangkan bisnis online dan offline bersama-sama.

Optimisme Hendrik barangkali tak salah. Namun, kalangan pengelola e-commerce memang harus terus memperbaiki diri. Tugas berat mereka bukan semata memperbaiki dan menampilkan situs yang menarik, tapi juga meningkatkan kemampuan back office dalam memproses order yang masuk dan menangani kebutuhan pelanggan lainnya. Tentu saja, strategi promosi, termasuk public relations, pun penting dilakukan.

No comments: