03 January 2008

Instansi Terkorup di Indonesia

 

Subject:

.. Instansi Terkorup di Indonesia

List-id:

<ppiindia.yahoogroup s.com>


 


dari milis yg satu ke milis yg lain.. untuk

Anda..
-----Original Message-----


"Punya Rumah Senilai Rp 10 M di Kemang"
JAKARTA, Investor Daily Online

Survei dari Transparency International Indonesia
(TII) menempatkan Direktorat Jenderal (Ditjen) Bea dan
Cukai (BC) dan Ditjen Pajak sebagai instansi terkorup
di Indonesia. Hasil survei itu tak begitu mengagetkan
publik, sebab kedua instansi tersebut selama ini
dikenal sebagai instansi yang 'basah', rawan praktik
suap, korupsi, kolusi.

Hasil penelusuran Investor Daily terhadap beberapa
pegawai pajak di Jakarta dan Tangerang makin
mengukuhkan survei TII. Sebut saja MJH, kepala seksi
Ditjen Pajak di Jakarta, golongan IVA. Sesuai standar
PNS, glolongan IVA berarti mempunyai gaji pokok Rp
1,5 juta per bulan. Kalau ditambah dengan tunjangan
lainnya, gaji bruto yang ia peroleh sekitar Rp 5 juta
per bulan.

Namun kenyataannya, MJH menempati rumah seluas 400 M2
di kawasan Rawamangun, senilai Rp 1,5

miliar. Tidak
hanya itu, MJH juga mempunyai empat rumah lainnya yang
berlokasi tak jauh dari tempat tinggalnya. Keempat rumah
itu sekarang dikontrakkan. Selain itu, MJH punya dua
mobil Kijang. Awal tahun 2005, ia mendapat mobil dinas
baru, juga jenis Kijang. Karena garasi rumahnya tidak
muat menampung tiga mobil, ia menyewa garasi tetangga
dengan membayar Rp 450.000 per bulan.

Yang cukup mengejutkan, dengan gaji sekitar Rp 5 juta,
pria kelahiran Medan ini sanggup menyekolahkan anak
pertamanya ke Kanada sejak tahun 2005. Bisa
dibayangkan, berapa puluh ribu dolar AS yang harus
ditransfer setiap bulan ke Kanada. Belum lagi, ia
wajib mendepositokan uangnya di bank sebagai jaminan
biaya kuliah anaknya selama di Kanada. Luar bisa
bukan?

Gaya hidup pegawai pajak ini sangat berbeda dengan
tetangganya yang menjadi direktur sebuah perusahaan
publik. Direktur yang bergaji sekitar Rp 20 juta per
bulan itu mengaku

tidak tidak sanggup membiayai putri
tunggal untuk melanjutkan kuliah di luar negeri.

Kekayaan petugas pajak itu menimbulkan 'bisik-bisik'
tetangga. Sejumlah warga Rawamangun mengaku malas
membayar pajak karena dananya tidak masuk ke kas negara,
melainkan 'mampir' ke petugas Pajak. Sudah menjadi
rahasia umum, petugas pajak juga sering 'kompromi'
dengan wajib pajak untuk urusan membayar pajak.
'Kemewahan' gaya hidup MJH juga melanda SML, pensiunan
kepala bagian Ditjen Pajak. Mantan pegawai pajak
golongan IVC dengan gaji pokok Rp 1,7 juta per bulan
itu mempunyai tiga rumah di kawasan Kemang, Jakarta
Selatan.

Penelusuran Investor Daily ke rumah SML menunjukkan,
rumah seluas 2.500 M2 di daerah Panglima Polim itu
akan dijual seharga Rp 10 miliar. Menurut mantan sopir
SML yang disuruh menjaga rumah itu, rumah tersebut
dilengkapi dengan kolam renang dan lapangan tenins.
"Ada beberapa pensiunan pejabat Pertamina yang

mau
beli. Tapi harganya terlalu mahal. Ada juga Bupati
dari Sumatera yang sudah menawar," papar penjaga rumah
yang namanya tak mau disebutkan. Rumah bertingkat dua
itu lantainya dilapisi marmer impor dari Italia, mirip
vila mewah di kawasan Puncak, Bogor.

Belanja ke Luar Negeri
Menurut penjaga rumah tersebut, SML saat masih aktif
bertugas sering mampir ke rumah itu. "Rumah ini sudah
kosong lebih dari satu tahun. Sebelumnya, rumah ini
pernah dikontrak duta besar," kata dia. Menurut dia,
SML lebih banyak tinggal di Sumatera Utara mengurusi
usahanya seperti hotel dan kebun. Sebagian uang hasil
penjualan rumah itu, katanya, akan dipakai pemilik
rumah untuk berobat ke Australia.

Sementara itu, kepala seksi Kantor Pelayanan Pajak
(KPP) Karawaci, golongan IV A, mempunyai tiga rumah
di Tangerang. Ia juga memiliki beberapa rumah kost
di Tangerang.

Demikian juga dengan BKM, yang baru bekerja 5 tahun
di KPP

Jakarta Timur. Ia mampu membeli tanah seluas
800 M2 di daerah Kali Malang seharga Rp 900 juta.
Selain tanah, BKM belum lama ini membangun rumah
kontrakan yang terdiri 40 kamar di daerah Pramuka.
Setiap kamar disewakan Rp 500.000 per bulan, sehingga
tiap bulan istri BKM mengantongi Rp 20 juta. "Tiap
akhir bulan, Ibu datang ke sini me nagih uang kost.
Ibu juga sering belanja ke luar negeri," ujar Tony,
satpam rumah kontrakan itu.

Melihat gaya hidup tiga petugas pajak itu, bisa
dibayangkan berapa triliun rupiah penerimaan pajak itu
'ditelep' petugas setiap tahunnya. Tidak mustahil,
petugas pajak seperti MJH, SML dan TNJ jumlahnya
ratusan orang di Ditjen Pajak. Namun, tidak semua pegawai
Ditjen Pajak memperkaya diri. Masih banyak pegawai jujur
dan bersih yang mau mengabdi.

JKI, misalnya, hidupnya relatif sederhana, meskipun ia
golongannya IVB dengan jabatan kepala seksi. Luas rumah
yang dihuni JKI dengan

empat anak di Cibubur, Jakarta
Timur, cuma 200 M2. Rumah itu pun tak tergolong
mewah, hanya ada sedan Toyota dan satu sepeda motor.

Traktir Pengusaha
Menurut pengalaman Ismet Hasan Putro, ketua Masyarakat
Profesional Madani (MPM) yang juga sebagai pengusaha,
petugas pajak umumnya lebih berani dan galak dari
pengusaha. Buktinya, petugas pajak tak segan merogoh
koceknya untuk mentraktir pe ngusaha makan di hotel
berbintang lima untuk melobi dan bernegosiasi.
"Saya pernah memberi uang Rp 1 juta kepada staf saya
di Surabaya untuk menjamu dua petugas pajak di Hotel
Shangrila. Namun, staf saya mengembalikan uang itu
karena makanan sudah dibayar oleh petugas pajak,"
ungkap Ismet pada acara diskusi "Qou Vadis Ditjen
Pajak" belum lama ini di Jakarta.

Menurut Ismet, semua pengusaha di Indonesia takut
berhubungan dengan petugas pajak. Sebab, mereka
seringkali mempersulit pengusaha yang akan membayar
pajak. Ia

melukiskan, berhubungan dengan petugas pajak
sama rumitnya dengan polisi. Akibatnya, tidak ada
pengusaha yang tidak berkolusi dengan petugas pajak.

"Kalau pengusaha membayar jumlah pajak sesuai dengan
perhitungan sendiri (self assestment) di Surat
Pemberitahuan Pajak Terutang (SPPT), petugas pajak
pasti menolak. Perhitungan mereka selalu lebih besar
dari perhitungan pengusaha. Perbedaan inilah yang
sering dimanfaatkan petugas untuk berk olusi dengan
pengusaha," katanya.

Ismet mengaku, jika pengusaha menolak kemauan petugas
pajak, tahun berikutnya mereka akan mempersulit dan
'ngerjain' pengusaha. Sebaliknya, kalau pengusaha
menyewa konsultan pajak, tingkat suap dan kolusi bisa
berkurang. Tapi, indikasi suap dan kolusi antara
petugas pajak dan konsultan pajak tetap kental.
"Jadi, posisi pengusaha itu serba salah dan tidak tau
harus berbuat apa dengan urusan pajak," tegasnya.

Tentu banyak juga

pengusaha nakal yang mengelak bayar
pajak. Buktinya, belum lama ini Ditjen Pajak berhasil
mengungkapkan sindikasi pemalsuan faktur pajak di Pulo
Mas, Jakarta Timur. Dua orang pemilik usaha distribusi
itu kini ditahan polisi. Total kerugian negara ditaksir
mencapai Rp 55 miliar. Modus serupa juga berhasil
dibongkar di Surabaya.

Hal serupa dilontarkan Emmy Hafild, sekretaris
jenderal TII. Menurut Emmy, hasil surveil TII
menunjukkan bahwa petugas pajak seringkali mendikte
pengusaha, khususnya pengusa ha kecil dan menengah
(UKM), sebab administrasi pengusaha UKM tidak rapi.
Emmy mengatakan, persentasi perusahaan yang mau
membayar pajak sesuai dengan perhitungan petugas pajak
cukup banyak. "Tapi petugas pajak tidak berani
mendikte perusahaan multinasional. Karena mereka punya
akses langsung ke Menteri Keuangan," ungkap Emmy.

Lain lagi pengalaman ekonom Universitas Indonesia
Faisal Basri. Ia kesulitan memindahkan

nomor pokok
wajib pajak (NPWP) dari Jakarta Timur ke Jakarta
Selatan. Saat terdaftar sebagai pemegang NPWP, Faisal
berdomisili di Jakarta Timur. Tapi beberapa tahun
kemudian, ia pindah ke Jakarta Selatan. Alasan KPP
Jakarta Timur menolak memindahkan NPWP itu, karena
Faisal dianggap sebagai salah satu andalan pembayar
pajak. "Saya lebih suka pindah ke KPP Jakarta Selatan
sebab menurut teman-teman layanan petugas pajak di sana
lebih baik dibanding KPP lainnya. Saya sarankan,
jangan mau pindah ke KPP Kuningan, petugas di sana
terkenal 'galak'," paparnya.

Faisal Basri meyakini, bila petugas semua pajak itu
jujur dan bersih, Indonesia tak perlu 'meminta-minta'
uang kepada negara donor dan multilateral lewat Group
on Consultative Indonesia (CGI). Menurut dia, tidaklah
sulit untuk mendapatkan tambahan pajak senilai Rp 30
triliun untuk APBN, seandainya korupsi bisa
diminimalisasi. Saat ini, rasio penerimaan

pajak
terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) mencapai 13,1%.

Ismet, Faisal dan Emmy berpendapat, salah satu upaya
mengurangi kebocoran penerimaan pajak adalah dengan
membatasi wewenang Ditjen Pajak. Sebab Ditjen Pajak
berfungsi ganda, sebagai pembuat hukum (policy maker),
pemeriksa dan pengumpul pajak. Menurut mereka, sebagian
wewenang itu harus dialihkan kepada lembaga lain di
Depkeu, sehingga ada lembaga yang mengontrol kinerja
Ditjen Pajak.

Begitu besarnya dugaan praktik suap, korupsi dan
kolusi di lingkungan Ditjen Pajak, mengapa petugas
pajak tidak diwajibkan melaporkan harta kekayaannya
kepada Komisi Pemberantas Korupsi (KPK)?. Apakah
kita membiarkan terus para koruptur hidup dalam
kemewahan? Sementara itu, lebih dari 110 juta
penduduk hidup dengan pendapatan kurang dari US$ 2
(Rp 18.400) per hari.

No comments: