26 December 2006

Consumer Insight via Internet

Sungguh ideal bila perusahaan bisa menerapkan pemberian reward berupa credit point bagi karyawan yang menyediakan waktunya untuk aktivitas bertemu konsumen di lapangan, seperti yang dilakukan PT Unilever Indonesia (SWA 12/Juni 2003). Yang masih banyak ditemui, justru perusahaan yang menganggap urusan bertemu konsumen hanya tugas orang pemasaran; dan secara umum eksekutif puncak belum yakin akan dampak positif consumer insight.

Sungguh ideal bila perusahaan bisa menerapkan pemberian reward berupa credit point bagi karyawan yang menyediakan waktunya untuk aktivitas bertemu konsumen di lapangan, seperti yang dilakukan PT Unilever Indonesia (SWA 12/Juni 2003). Yang masih banyak ditemui, justru perusahaan yang menganggap urusan bertemu konsumen hanya tugas orang pemasaran; dan secara umum eksekutif puncak belum yakin akan dampak positif consumer insight.

Istilah consumer insight mulai populer belakangan ini. Maknanya adalah proses pemahaman terhadap perilaku konsumen dalam kaitannya dengan produk perusahaan; melihat permasalahan produk dari sudut pandang konsumen. Pemahaman konsumen ini harus dilakukan secara kontinyu. Perilaku konsumen tidak bisa hanya dimengerti sesaat atau ad-hoc, pada saat diperlukan.

Sebagai analogi, pemahaman ad-hoc diibaratkan dengan kita memotret, perilaku konsumen hanya tergambar pada satu permukaan. Asumsi yang terbentuk pada saat menganalisis foto bisa jadi tidak menggambarkan keadaan yang sebenarnya. Adapun proses consumer insight bisa disetarakan dengan pemahaman dengan bantuan kamera video yang merekam kegiatan konsumen secara utuh, sehingga dinamika yang terjadi pada perilaku konsumen dan aspirasinya pun dapat tertangkap.

Saat ini, tantangannya adalah, apakah tanpa reward khusus dari perusahaan, seorang eksekutif mau menerapkan consumer insight secara sukarela? Yang saya amati, banyak manajer merek yang merasa sudah cukup dekat dengan konsumen hanya dengan hadir beberapa jam pada saat focus group, atau ikut mendampingi wawancara konsumen di lapangan secara acak. Belum banyak yang menghayati manfaat menyediakan waktu sehari penuh bersama konsumen di pasar, apalagi ikut berjualan menawarkan produk di supermarket, bergaya ala sales promotion girl.

Saya bisa mengerti jika seorang manajer merek merasa tidak punya waktu untuk jalan-jalan ke pasar, karena pernah merasakan betapa ketatnya jadwal kerja sebelum merilis kampanye, baik untuk produk lama maupun produk baru. Jadi, bisa dipahami mengapa consumer insight di lapangan jadi prioritas nomor sekian. Ditambah dengan kemacetan lalu lintas, kunjungan pasar makin terasa membuang-buang waktu berharga.

Walapun demikian, tidak berarti saya sependapat bahwa berpartisipasi dalam riset secara sporadis sudah cukup untuk mengenal konsumen. Manajer merek tetap perlu berkomunikasi langsung dan mengenal dengan mata dan telinga sendiri mengapa seorang konsumen suka atau tidak suka akan atribut tertentu pada merek yang dipasarkannya.

Solusinya adalah dengan menerapkan online consumer insight. Dengan adanya media Internet, keberatan masalah waktu ini bisa diatasi melalui komunikasi langsung dengan konsumen secara virtual. Dengan perantaraan teknologi, seorang eksekutif bisa berhubungan dengan konsumen dan prospek tanpa harus secara fisik berada di hadapan mereka.

Beberapa tip praktis untuk online consumer insight:

(1) Perlakukan teman, saudara atau tetangga sebagai prospek. Sekali-sekali kirimkan paket produk untuk dicoba; dan setelah itu, tanyakan lewat e-mail apakah mereka menyukainya, bagaimana tanggapannya tentang kemasan atau rasa yang baru, keunggulannya dibanding produk yang biasa mereka pakai, dan lain-lain. Dengan perantaraan e-mail, ngobrol dengan prospek bisa dilakukan di sela-sela kesibukan kantor atau rumah.

(2) Ikut dalam milis yang anggotanya bukan hanya teman alumni, tetapi juga yang tidak pernah kita kenal langsung. Dengan bergabung di milis seperti ini, sesekali kita bisa melemparkan isu tentang pengalaman menggunakan produk tertentu dan memancing pendapat anggota yang lain. Dalam setting yang alami seperti ini, responden tidak punya hambatan untuk mengemukakan pendapat.

(3) Catat anggota milis yang sering memberikan komentar yang insightful tentang produk, dan eksplorasi lebih lanjut dengan cara chatting. Fasilitas chatting disediakan secara gratis oleh banyak portal dan umum digunakan oleh para netter. Selain praktis, chatting juga bisa dilakukan kapan saja, asalkan pihak yang dikontak sedang online. Mengisi waktu sambil menunggu kemacetan lalu lintas di sore hari sebelum pulang kantor dengan chatting tentang produk, akan lebih produktif ketimbang main soliter atau berkelana di website games tanpa tujuan yang jelas.

(4) Masih berkaitan dengan chatting, yang bisa dilakukan adalah mengundang anggota milis, teman atau siapa saja untuk ikut dalam virtual focus group. Jangan dibayangkan konsep focus group yang formal dan perlu moderator profesional. Diskusi ini lebih ke arah ngobrol santai tentang keseharian yang diselipi beberapa pertanyaan tentang produk. Fasilitas group-chatting juga telah banyak disediakan secara gratis oleh portal-portal terkenal.

Apakah dengan online consumer insight ini, para eksekutif tidak perlu lagi biro riset profesional? Tentu, riset formal masih tetap dibutuhkan. Online consumer insight sebaiknya hanya digunakan sebagai wawasan informal. Perusahaan tetap butuh riset pemasaran yang lebih terstruktur dan profesional untuk menguji berbagai strategi pemasaran.

Manfaat lain online consumer insight bagi eksekutif, terutama bagi manajer merek adalah menjadi lebih kritis dalam justifikasi kualitas laporan biro riset, terutama yang kurang jeli menangkap dinamika konsumen di pasar. Laporan yang dibuat oleh biro riset profesional merupakan hasil ringkasan informasi yang diterjemahkan beberapa lapisan, yaitu periset lapangan, supervisor hingga manajer puncak. Tidak jarang, akibat terbatasnya product knowledge di tiap lapisan ini, insight yang lebih berguna bahkan tidak muncul ke permukaan. Dalam kondisi semacam ini, online consumer insight yang dilakukan dengan cara informal bisa digunakan untuk penggalian kembali informasi yang hilang.

Jika perusahaan belum siap mengaitkan consumer insight dengan reward tertentu, bisa dimulai dengan hal-hal yang sederhana dulu. Contohnya, dengan memberikan fasilitas akses Internet di kantor dan dukungan untuk biaya Internet di rumah. Atau, dengan menyediakan insentif berupa produk untuk responden yang ikut serta dalam online chatting atau virtual focus group. Lebih jauh lagi, yang bisa dihidupkan adalah suasana silaturahmi dalam perusahaan, yaitu saling bertukar alamat dan nama teman, relasi dan saudara untuk saling dijadikan responden dalam online consumer insight. Bisa jadi, insight terbaik justru datangnya dari kerabat karyawan yang ada di hadapan mata, yang sebelumnya tidak pernah tersentuh oleh riset formal.

No comments: