Pertama, Arara Abadi adalah anak perusahaan APP yang juga merupakan induk perusahaan dari Indah Kiat Pulp and Paper (IKPP) yang dijadikan jaminan atas hutang sebesar US$13,9 miliar (Rp.111,2 trilyun) kepada kreditor yang terdiri dari beberapa creditor agency.
Ketika ekonomi Indonesia kolaps akibat korupsi, kreditor ingin jaminan utangnya kembali sehingga IMF datang dengan skema SAP. Untuk itu, seluruh hutang luar negeri yang dilakukan swasta Indonesia ditanggung negara melalui BPPN (Badan Penyehatan perbankan Nasional). Untuk menjamin negara (BPPN) bisa membayar hutang, maka IMF menitahkan untuk menarik subsidi bagi bahan bakar, mendorong reformasi sektoral, menaikkan pajak, meningkatkan ekspor non-migas dan investasi, menjual aset BPPN, dan privatisasi.
Dosa IKPP. Hutang yang dilakukan IKPP telah menyebabkan subsidi BBM dicabut sehingga memberatkan seluruh rakyat Indonesia dengan kenaikan BBM. Saat ini, 60% saham PLN dan Telkom dimiliki oleh Perancis dan untuk menjamin pembayaran hutang, TDL dan Tarif Telkom harus dinaikkan yang akhirnya memberatkan rakyat Indonesia. Untuk menjamin pembayaran hutang tersebut, Indonesia juga terpaksa mencabut subsidi bagi dunia pendidikan, khususnya bagi Universitas Negeri, termasuk Universitas Riau (UNRI). Kebijakan ini sangat baik bila kondisi perekonomian Indonesia dalam keadaan sehat dan masyarakat mampu membayar biaya pendidikan. Dalam kondisi perekonomian yang sangat tidak sehat dan dalam kondisi 41% masyarakat Riau berada dalam kemiskinan, kebijakan ini adalah kebijakan yang paling tolol yang pernah dibuat. Ini sama saja dengan membiarkan orang miskin untuk tidak dapat sekolah dan peningkatan ekonomi tidak akan pernah tercapai bila terlalu banyak orang yang tidak sekolah. APP bersedia menjual IKPP dengan catatan Arara Abadi tidak akan pernah memasok kayu ke IKPP. Ini adalah ancaman terselubung yang dilakukan APP. Sebab tidak akan ada yang mau membeli industri pulp tanpa bahan baku. APP juga mengancam akan memindahkan seluruh aset yang dimilikinya ke China apabila APP terus didesak untuk membayar hutangnya tepat waktu. IKPP juga akan memindahkan seluruh investasinya ke China bila Arara Abadi tidak lagi sanggup menyuplai bahan baku. Di negara asal, setelah 3 kali masa tanam (6 tahun x 3 kali masa tanam = 18 tahun), maka lahan eks-Akasia tidak dapat ditumbuhi oleh tumbuhan apapun. Itu sebabnya, Australia sebagai negara asli pemilik Akasia sudah melarang untuk melakukan perluasan tumbuhan Akasia. Pada tanggal 12 Maret 2001, APP menyatakan dirinya Standstill, atau dengan kata lain, menolak untuk membayar hutang. Alasannya, harga bahan baku serpih yang dibeli IKPP (anak perusahaan APP) dari Arara Abadi terlalu tinggi ? Rp. 450.000 per meter kubik sehingga merugikan IKPP. Ini menggelikan, mengingat Arara Abadi adalah anak perusahaan APP yang tentunya tetap saja akan menguntungkan pemilik APP. Ini juga menggelikan, karena dalam prakteknya, IKPP membeli kayu dari masyarakat seharga Rp. 175.000,- Hal ini dilakukannya karena kapasitas mesin terpasang IKPP lebih tinggi dari kemampuan HTI yang dimilikinya untuk menyuplai kayu.
Kesimpulannya, IKPP adalah industri yang melakukan praktek bisnis curang, culas, dan cenderung serakah. Kerjasama ini sama dengan mencoreng muka UNRI.
Kedua, kapasitas Mesin IKPP jauh di atas bahan baku miliknya yang berasal dari konsesi HTI-nya. Untuk memenuhinya, maka IKPP terpaksa menggunakan kayu yang berasal dari hutan alam dengan cara praktek pencurian dan menadah kayu ilegal.
Dosa IKPP. Hasil investigasi Kaliptra, 80% kayu yang berasal dari Tahura Minas ditampung oleh IKPP. Artinya, IKPP bertanggung jawab secara penuh atas kerusakan hutan yang terjadi di Tahura Minas. IKPP juga harus bertanggung jawab atas 70% kerusakan hutan di SM Giam Siak Kecil, 40% hutan alam Inderagiri Hulu dan beberapa kabupaten lainnya. Ini dikarenakan IKPP adalah operator bagi penebangan kayu di seluruh daerah tersebut. Sejumlah kerusakan hutan lainnya, juga disebabkan tingginya kapasitas mesin industri pulp ini. Ketidakmampuan lahan yang dimilikinya membuat IKPP menampung seluruh kayu curian dan kayu-kayu yang dilakukan dengan praktek ilegal. IKPP harus membuktikan bahwa kayu yang ditampungnya bukan berasal dari kayu curian. IKPP juga harus membuktikan bahwa konsesi miliknya mampu menyuplai kayu untuk kebutuhan kapasitas mesinnya.
Kesimpulannya, IKPP adalah industri pulp yang terlebih dahulu dibangun sebelum HTI-nya dibangun. Karena ketiadaan HTI, maka IKPP melakukan penebangan yang merusak hutan alam.
Banjir yang terjadi awal tahun 2003, yang telah menghilangkan 64% APBD Riau 2002, merupakan buah tangan dari praktek penebangan hutan yang serakah yang juga dilakukan oleh industri pulp dan industri plywood.
IKPP adalah dosa bagi perusakan hutan alam Riau. Kerjasama UNRI - IKPP adalah sama dengan proses cuci tangan IKPP atas dosa-dosa yang dilakukannya terhadap kerusakan hutan alam.
Ketiga, Industri Pulp membutuhkan kayu yang cukup umur, sehingga bisa menghasilkan kertas dengan kualitas bagus. Bila tidak, maka kertas yang dihasilkan hanyalah kertas tissue. Untuk Akasia, baru pada umur 6 tahun Akasia bisa dipanen untuk memenuhi standar mutu yang dibutuhkan IKPP.
Dalam satu hektarnya, Akasia menghasilkan kayu sebanyak 210 m3 atau setara dengan 294 ton kayu. Dalam MOU yanjg ditandatangani UNRI dengan Arara Abadi, tertulis bahwa UNRI akan menerima keuntungan senilai Rp. 10.000 per ton kayunya. Ini berarti setara dengan Rp. 2.940.000/6 tahun/hektar. Otomatis dalam setiap tahunnya, UNRI hanya akan menerima Rp 490.000/hektar atau Rp. 41.000/bln/ha.
Setelah 18 tahun, atau setelah UNRI menerima keuntungan Rp. 1.470.000/ha/18 tahun, maka tanah di UNRI tidak akan dapat digunakan untuk apapun. Demikian halnya dengan botanical garden yang akan musnah tidak lebih dari 10 tahun. Hal ini dikarenakan Akasia adalah tumbuhan dengan tingkat keasaman yang tinggi dengan penyebaran pertumbuhan melalui angin. Di Australia, Akasia mampu tumbuh 5 km dari tempat asalnya dan menghilangkan seluruh tanaman asal yang berada di sana karena kalah bersaing dalam memperebutkan unsur hara dan karena tingkat keasaman yang dimiliki Akasia.
Setelah 18 tahun, maka tanah UNRI akan menjadi gurun hijau yang tidak bisa ditumbuhi oleh apapun tanpa input pupuk dengan konsentrasi kimia yang tinggi dan berbiaya mahal. Menjadi tidak seimbang dengan output yang dihasilkan sehingga cenderung ditelantarkan dan menjadi gurun hijau karena hanya paku-pakuan yang bisa tumbuh di atas tanah dengan kondisi demikian.
Kesimpulannya, Akasia adalah komoditi yang tidak menguntungkan pada jangka pendek dan komoditi yang paling merugikan pada jangka panjang.
Keuntungan yang dihasilkan tanaman palawija atau bahkan kangkung sekalipun dalam satu hektarnya jauh lebih besar dari Akasia. Sistem pekerjaan dengan melibatkan masyarakat sekitar dengan berbagai keuntungan 50 - 50 pun, secara hitung-hitungan ekonomi, masih lebih menguntungkan dan akan menaikkan credit point UNRI di mata masyarakat khususnya, dan di mata dunia umumnya. Dengan keuntungan tersebut, UNRI bisa mendirikan botanical garden yang dibutuhkannya seiring dengan jaminan kesuburan tanah dan keuntungan yang lebih tinggi. Jangan mengorbankan masa depan tanah dan keuntungan UNRI hanya untuk kebutuhan botanical garden, secara instan.
UNRI juga bisa mempelopori sistem pertanian organik dengan meniadakan input kimia, sehingga bisa dijadikan laboratorium organik untuk Riau dan dijadikan percontohan bagi petani lainnya, utamanya untuk melawan revolusi hijau yang ada di dunia pada saat ini. Belum lagi kesempatan untuk menjadi lumbung bibit lokal.
Mengingat lebih banyak mudharat yang dihasilkan dari kerjasama UNRI dengan Arara Abadi, menjadi lebih bijaksana apabila UNRI sebaiknya membatalkan perjanjian ini. Hal ini semakin kuat, mengingat keuntungan yang dihasilkan dari penanaman Akasia ini ternyata sangat tidak signifikan dengan keuntungan jangka pendek yang didapatkan dan kerugian jangka panjang yang dihasilkan.
Semoga tidak ada yang terlewatkan, mengingat ada begitu banyak mudharat dibanding manfaat dari Akasia ini. Salam Pembebasan. [rs]
Untuk informasi lebih lanjut, dapat menghubungi:
M. Teguh Surya
Deputi Direktur WALHI Riau
Email M. Teguh Surya
Telepon kantor: +62 - 0761- 22545
Mobile:
Fax: +62 - 0761- 22545